Latest News

Lika-Liku Perjalanan Hidup Meraih Kesuksesan Layaknya Film Legend of The Fall



Malam ini HBO menayangkan lagi film Legend of The Fall. Entah sudah berapa kali saya nonton film ini, dan saya selalu nonton kalau ada kesempatan, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Film ini tidak hanya bagus dalam cerita, tapi juga indah dalam permainan kamera. Banyak pemandangan indah terekam sepanjang film ini. Sementara itu kisahnya cukup menggugah batin.

Film ini diterbitkan tahun 1995, persis saat tahun pertama saya mulai bekerja sebagai dosen. Jujur saja, kepedihan cerita film ini cukup bergema pada batin saya yang saat itu dalam puncak kegalauan.

Berhenti bekerja di lapangan minyak, saya memilih untuk jadi dosen, cita-cita saya semula. Gajinya Rp 120 ribu sebulan, 1/10 dari gaji saya waktu bekerja di lapangan minyak. Kurang, iya terasa banget. Tapi itu resiko yang harus saya terima sebagai konsekwensi pilihan yang saya buat. Meski gaji kurang, jadi dosen adalah kebanggaan. Orang-orang di sekitar saya memandang ini sebagai posisi terhormat. Gaji memang kecil, saat itu. Tapi ada optimisme bahwa masa depan akan cerah. Yang diperlukan cuma kesabaran.

Ini adalah masa penting untuk mengukir fondasi masa depan. Cita-cita saya untuk kuliah ke luar negeri belum lagi terwujud. Jalan menujunya masih harus diperjuangkan. Akankah akan saya capai? Atau hanya akan berhenti menjadi sebuah mimpi belaka? Pertanyaan ini sungguh merisaukan.

Lalu, siapa yang akan menjadi istriku? Itupun menggelisahkan. Belum ada titik terang pula soal ini. Sambil kerja saya lirik kiri kanan. Ada beberapa gadis yang saya minati, tapi tidak berani menyatakan hasrat. Bahkan untuk sekedar mendekat saja pun tidak berani. Ada dosen muda di jurusan tempat saya bekerja. Namanya Heni, kalau tak salah ingat. Ia seorang gadis yang cantik. Saya ingin mendekat, tapi tidak yakin. Tak mungkin gadis cantik begini tak punya pacar, kan?

Saya coba tanyakan statusnya pada sepupu saya yang jadi adik kelasnya.

"Heni itu sudah punya pacar, belum?"

"Abang berminat kah?"

"Iya."

"Kalau berminat tak usah banyak pikir. Maju saja. Soal dia punya pacar atau  tidak, itu bukan soal penting. Kalau serius nanti saya bantu."

Saya waktu itu kecut. Jawaban sepupu saya jelas menggambarkan bahwa anak ini punya pacar. Jadi saya memilih untuk diam-diam menjauh.

Begitulah, tahun 1995 itu adalah tahun galau.

Tapi kegalauan sebenarnya hanyalah bagian kecil dari kehidupan. Awal tahun 1996 saya mendapat beasiswa untuk kuliah ke Jepang. Mula-mula saya belajar bahasa Jepang dulu di Malaysia selama setahun. Di ujung masa belajar ini saya menemukan jodoh, lalu menikah sebelum pergi kuliah ke Jepang. Dua tahun kemudian saya selesai S2, kemudian selesai S3 tahun 2002. Di tahun yang sama saya mendapat anak pertama. Kemudian bekerja sebagai peneliti di Jepang, 2 tahun, kemudian berlanjut 2 tahun lagi.

Hidup yang tadinya mengkhawatirkan bagi saya, ternyata mengalir saja. Tentu saja ada riak, bahkan ombak sepanjang aliran itu. Tapi saya baik-baik saja, semua bisa saya lewati. Sesungguhnya begitulah hidup. Bila kita lihat ke depan, kita seperti melihat lorong gelap yang panjang. Kadang mengerikan. Tapi ketika kita tapaki satu per satu, lorong tadi tinggal menjadi masa lalu belaka. Bahkan esok yang kita anggap akan mengerikan, ternyata hanya berlalu menjadi kemarin yang biasa, atau kemarin yang luar biasa. Ia hanya masa lalu, kita berhasil melewatinya.

Bahkan hidup yang tragis seperti yang dialami 3 bersaudara dalam film Legend of The Fall, itupun akan berlalu.

Jadi, apa yang mesti kita takutkan? Mari tatap lorong gelap masa depan itu. Katakan padanya,"Sebentar lagi kau hanya akan jadi masa lalu belaka."



via facebook/Hasanudin abdurakhman